Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Gadjah Mada

Gajah Mada (wafat k. 1364) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton. Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme dan persatuan Nusantara.

Awal karier
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada sedangkan nama Gajah Madakemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgaraktāgama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894 terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.











Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini disimpan di museum Trowulan, Mojokerto.

Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut :

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”

bila dialih-bahasakan mempunyai arti :

Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kenapa dinamakan “Indonesia” ?

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1]
Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia").

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gajah Mada, Hamukti Palapa

Judul: Gajah Mada, Hamukti Palapa
Penulis: Langit Kresna Hariadi
Penerbit: Tiga Serangkai Solo
Terbit #1: 2006
Tebal: x+694 hal


Keta, Sadeng, dan Sumpah “Hamukti Lara Lapa”


Kemarau panjang. Gunung Kampud meletus. Kekeringan melanda setiap jengkal tanah Majapahit.

Pada situasi seperti itulah, ruang perbendaharaan pusaka Majapahit dimasuki orang. Payung Udan Riwis dan Cihna Nagara Gringsing Lobheng Lewih Laka raib dari ruang perbendaharaan istana pada pencurian pertama! Bahkan pada pencurian yang kedua dengan orang yang agaknya berbeda – yang ternyata pencuri kedua ini merasa terkecoh karena Kiai Udan Riwis dan Cihna Nagara sudah tak berada di tempatnya -- Ratu Gayatri sempat diculik dari ruang peristirahatannya! Istana Majapahit pun geger. Mengapa justru kedua pusaka itu yang dicuri orang – sebuah payung dan sebuah bendera -- dan bukan pusaka lain yang lebih tak ternilai harganya? Untuk apa? Dan bagaimana mungkin Ratu Gayatri selamat tanpa kurang suatu apa dalam penculikan itu?

Telik sandi Bhayangkara pun disebar Gajah Mada. Tak kurang, Gajah Enggon, pentolan pasukan khusus itu pun harus turun tangan sendiri. Sesuai petunjuk Ratu Gayatri, salah seorang yang pernah membatik bendera Cihna Nagara (lambang negara) itu, Gajah Enggon harus memulainya dari Ujung Galuh. Di sana, kehidupannya bahkan akan dimulai dari awal. Dia hanya tak boleh menoleh ke belakang dan diminta mengikuti ke mana terjadi mendung dan hujan akan turun. Sebuah petunjuk yang tentu saja penuh teka-teki.

Bersama dengan Pradabasu, seorang mantan Bhayangkara yang masih banyak membantu Majapahit meski sudah menjadi orang luar, Gajah Enggon melakukan perjalanan ke Ujung Galuh. Dan ternyata, di sanalah “kehidupannya akan dimulai dari awal” memang terjadi.

Gajah Enggon bertemu dengan Kiai Agal yang misterius, yang ternyata mengenal dirinya, dan tanpa disangkanya, sudah memiliki rencana yang tak pernah disangkanya: orang misterius itu hendak menikahkan dirinya dengan Rahyi Suhenok, cucunya sendiri! Dan disanalah keduanya baru tahu, bahwa Kiai Agal tidak lain adalah Kiai Pawagal, orang dekat Raden Wijaya. Keduanya juga bertemu dengan Medang Dangdi, teman seperjuangan Kiai Pawagal yang bersama dengan Raden Wijaya membangun Majapahit. Namun, tidak seperti Nambi dan teman-temannya yang lain, keduanya memilih berada di luar pemerintahan.

Berkat informasi dari Medang Dangdilah, di Ujung Galuh itu Pradabasu berbagi tugas dengan Gajah Enggon. Gajah Enggon tetap memburu kedua pusaka yang hilang sebagaimana amanat Ratu Gayatri, sedangkan Pradabasu harus segera bergerak ke Keta dan Sadeng: dua buah wilayah yang disinyalir sedang memberontak terhadap Majapahit. Dan dari sinilah, teka-teki mengapa kedua pusaka Majapahit itu hilang mulai terkuak. Semuanya ada kaitannya dengan upaya Keta dan Sadeng mencari legitimasi kekuasaan melalui penggunaan kedua pusaka itu sebagai simbol. Dan itu harus dicegah.

Berkat upaya Pradabasu dan telik sandi Bhayangkara lainnya, pemberontakan kedua tempat itu mulai konangan. Bagaimana Patih Mogasidi dari Keta dan Patih Raganata dari Sadeng harus menelan pil pahit ketika diusir dari pasewakan Majapahit karena gerakan rahasia mereka untuk menyusun kekuatan menentang Majapahit berhasil diblejeti Gajahmada. Pasukan segelar-sepapan pun ditugaskan ngluruk ke kedua wilayah itu. Tak kurang upaya itu dibantu oleh armada laut Adityawarman dari Darmasraya yang sedang berkunjung ke Majapahit. Semua berkat informasi dari Pradabasu.

Di perjalanan lain, Gajah Enggon bersama istrinya, Rahyi Suhenok, mengejar orang yang mencuri kedua pusaka itu. Dan ternyata mereka tidak sendiri. Ada pihak lain yang juga menginginkan kedua pusaka itu. Pihak lain itu tak lain adalah mereka yang gagal mencuri kedua pusaka di Majapahit. Dan pihak itu memang terbukti ada hubungannya dengan Keta dan Sadeng.

Begitulah cerita itu bergulir. Keta dan Sadeng akhirnya berhasil ditaklukkan. Dan kedua pusaka akhirnya kembali ke Majapahit. Dengan sendirinya! Bagaimana bisa? Dan bagaimana bisa Ratu Gayatri sendirilah yang menyambut Sang Pencuri kedua pusaka itu di alun-alun Majapahit ketika hujan deras mengguyur dan membasahi bumi yang telah kerontang begitu lama?

Jawabnya bisa ditemukan pada bagian akhir novel setebal lebih dari 600 halaman ini.

Dan pada kesempatan inilah, Patih Arya Tadah mengundurkan diri dan digantikan dengan Gajahmada sebagai Patih Mangkubumi. Pengangkatan dirinya tentu membuat banyak pejabat yang lebih senior kecewa, apalagi ia menyampaikan sumpah palapanya yang terkenal itu. Sumpah yang tentu saja di telinga mereka seperti sebuah lelucon belaka.

"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa."

***

Inilah novel paling tebal dari keempat buku Gajahmada yang telah diterbitkan hingga resensi ini dibuat. Lebih dari 600 halaman! Jika sehari bisa menulis 10 halaman, novel ketiga ini ditulis Langit Kresna Hariadi barangkali hanya dalam kurun waktu 60-an hari; alias dua bulanan saja!

Namun, sebagaimana serial sebelumnya, novel setebal itu bisa dikunyah selezat kedua seri sebelumnya. Bagaimanapun, Pak Langit tetap membumbui kisah Gajahmada kali ini dengan misteri; yakni tentang pencurian pusaka yang sebetulnya tak seberapa penting dan kaitannya dengan pergerakan pasukan secara sembunyi-sembunyi di Keta dan Sadeng. Dengan sisi misterius inilah pembaca dipaksa dibuat tetap erat memegang novel ini hingga sampai pada kata terakhir.

Mungkin belajar dari kedua seri sebelumnya, pada sekuel ketiga ini tak banyak lagi dijumpai kalimat-kalimat perulangan yang cukup mengganggu itu. Meski demikian, tebalnya yang lumayan cukup membuat keinginan untuk membacanya menjadi sedikit menurun. Tetapi kiranya bisa dipahami mengapa setebal itu, karena setidaknya ada 3 pertanyaan besar yang harus dijawab. Pertama, adanya pergerakan pasukan berkekuatan sepuluh kapal dari Darmasraya yang dipimpin Adityawarman yang telah tiba di Ujung Galuh. Bagaimanapun, putra Darmasraya ini termasuk laki-laki yang masih ada hubungan darah dengan raja Majapahit dan berhak atas dampar kencana itu. Apalagi sejak Prabu Jayanegara wafat dan kedua saudaranya, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, adalah perempuan semua. Kedua, hilangnya kedua pusaka – yang tak seberapa. Untuk apa keduanya dicuri. Dan ketiga, adanya gerakan di Keta dan Sadeng yang hendak melakukan makar terhadap Majapahit.

Dan inilah kelihaian Pak Langit mempertemukan ketiga isu tersebut dalam sebuah cerita yang terjalin apik. Di samping adanya isu tambahan akan mundurnya Arya Tadah dari kursi kepatihan. Yang memang agak mengherankan adalah bahwa isu yang – menurut saya – tambahan atau sampingan inilah yang justru dipilih Pak Langit menjadi judul novel ini. Gajahmada Hamukti Palapa; yakni peristiwa sumpah amukti palapa Gajahmada yang terkenal itu. Judul yang lebih tepat, barangkali, malah Pemberontakan Keta dan Sadeng, karena isu inilah yang justru mengambil porsi terbanyak dari cerita ini.

Terus-terang saya tak pernah mendengar kisah raibnya pusaka Majapahit itu dalam sejarah. Adalah sungguh merupakan kejutan jika ternyata hal itu pernah terjadi dan juga kejutan pula jika tak pernah terjadi kecuali hanya khayalan penulis saja. Karena bagaimanapun mengaitkan isu itu dengan Pemberontakan Keta dan Sadeng, yang memang ada tertulis di dalam sejarah, adalah sebuah ide yang jitu.

Saya pun tak pernah mendengar Adityawarman membantu Gajahmada menyerang Sadeng dengan pasukan armada lautnya. Apalagi Sadeng terletak di sisi selatan Jawa Timur bagian timur (selatan Jember), yang tentu saja untuk mencapainya harus mengarungi Selat Bali dan menuju Samudera Hindia yang terkenal ganas ombaknya. Saya masih memiliki kesan bahwa kedatangan Adityawarman dan kerjasamanya menyerang Sadeng adalah skenario penulisnya saja. Mudah-mudahan saya salah.

Yang juga tak kalah mengambil banyak halaman adalah penceritaan set back bagaimana pertemuan nostalgia antara Gayatri dan Kiai Wirota Wiragati di masa lampau ketika terjadi pemberontakan Jayakatwang, Adipati Gelang-gelang, terhadap Raja Kertanegara. Cerita romantis yang juga “baru” saya dengar. Jika ini tak pernah terjadi, maka saya sedikit yakin Sang Penulisnya adalah orang yang cukup romantis. Mungkin suatu saat saya harus bertanya pada istrinya untuk lebih yakin lagi tentang hal ini.

Disamping hal-hal di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul setelah membaca novel tebal ini. Pertama, kelihatannya peran Gajah Enggon tak seberapa di dalam cerita ini. Ia hanya “mengejar” maling Kiai Udan Riwis dan tak berhasil menangkapnya. Karena ternyata, Branjang Ratus, Sang Maling, adalah suruhan Ratu Gayatri sendiri. Kedua pusaka itu akhirnya kembali ke Majapahit, dikembalikan oleh pencurinya sendiri. Lalu, untuk apa Gayatri menyuruh Gajah Enggon menelusuri raibnya kedua pusaka itu? Untuk sekedar menikahkan pimpinan Bhayangkara itu dengan cucu Kiai Pawagal?

Kedua, betapa mudahnya Keta dan Sadeng ditaklukkan. Seingat saya di dalam sejarah, keduanya itu benar-benar berupa sebuah “pemberontakan” sebagaimana pemberontakan Ranggalawe misalnya. Tetapi dalam cerita ini, Ma Panji Keta dan Adipati Sadeng dengan mudahnya diringkus. Kesaktian Gajah Mada sama sekali tak dikeluarkan dalam sekuel ini.

Ketiga, betapa mudahnya juga Kiai Wirota Wiragati, maling mumpuni jaman Singasari dan juga sahabat Raden Wijaya, yang semula membantu mati-matian Ma Panji Keta memberontak terhadap Majapahit menjadi luruh niatnya oleh bujukan Medang Dangdi dan Kiai Pawagal, kedua orang sahabatnya itu? Bagaimana mungkin begitu mudahnya ia dipengaruhi? Saya kira ini juga agak tak wajar, karena lantas terkesan ceritanya, “Ealah, mek ngono ae.” Ah, ternyata cuman begitu saja.

Namun, ada yang menarik pada sisipan peristiwa Sumpah Amukti Palapa Gajah Mada itu. Sebagaimana pernah disampaikan penulis pada saat Bookfair akhir tahun 2006 lalu di Senayan Jakarta, pada cerita itu disisipkan tafsiran penulis terhadap “hamukti palapa” sebagai sumpah untuk tidak beristirahat hingga tercapainya cita-cita Gajah Mada. “Palapa” diartikan sebagai “lara lapa” (jawa), yakni berani menderita untuk mencapai sebuah cita-cita mempersatukan nusantara. Jadi, hamukti palapa bukan berpuasa untuk makan buah palapa (kelapa) sebagaimana kita dengar selama ini. Bagi saya, tafsiran ini sungguh menarik dan patut diperhitungkan.

Lebih dari itu, apresiasi yang dalam dan juga dua jempol patut disampaikan kepada penulisnya yang telah dengan piawai meramu isu-isu tersebut di atas menjadi sebuah cerita yang mengasyikkan ini. Rasanya tak sabar untuk segera membaca sekuel keempat Gajah Mada terkait dengan Perang Bubat yang melegenda sekaligus kontroversial itu!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pura Gaduh Kebo Iwa


SIAPA yang tidak kenal Patih Kebo Iwa. Dialah mahapatih paling sakti di zaman kerajaan dulu. Berkat kesaktian yang dimilikinya membuat Mahapatih Majapahit, Gajah Mada pusing tujuh keliling. Lantas apa hubungan Pura Gaduh Kebo Iwa dengan Mahapatih Bali, Gaduh Kebo Iwa?

Pura Gaduh Kebo Iwa juga sering disebut Pura Gaduh, terletak disebelah timur Pasar Desa Adat Belahbatuh. Perjalanan menuju Pura megah ini tidak sulit, karena letaknya sangat strategis dan ada di jantung keramaian Kota Kecamatan Belahbatuh, Gianyar.
Dari Denpasar menuju pura ini, jika lalulintas lancar waktu yang dihabiskan hanya 30 menit. Pura Kebo Iwa posisinya ada di sebelah Selatan Bale Wantilan Blahbatuh. Begitu menginjak jalan aspal yang cukup bagus, Anda akan melihat betapa kokohnya Pura Gaduh Kebo Iwa, kondisi ini tidak hanya terlihat dari luar pura, di dalam pura kita juga melihat pemandangan yang sama.
Berbagai pelinggih yang megah akan Anda saksikan di pura ini yang seakan melukiskan betapa luhurnya karya seni dari leluhur kita yang telah mewariskan sebuah mementum bangunan yang sangat agung.Areal pura cukup luas, bisa menampung ledakan umat yang mau pedek tangkil ke pura. Pura Gaduh Kebo Iwa ini adalah kompleks dari berbagai pura yang ada di sebelah barat. Bagaimana sejarah berdirinya pura ini. Menurut Jro Mangku yang ngayah di pura ini, pura yang ada sekarang ini merupakan karya agung Patih Gaduh Kebo Iwa.

LANTAS SIAPA SEBENARNYA KEBO IWA ITU?
Dalam berbagai sumber lontar, disebutkan Gaduh Kebo Iwa adalah sebuah dongeng, tapi ada juga yang menyebutkan sebuah sejarah pada jaman dulu di Bali. Gaduh Kebo Iwa kalau di Bali sangat terkenal dengan kesaktiannya. Karena saktinya dia bergelar mahapatih yang tidak terkalahkan dan patih yang ditakuti oleh kerajaan-kerajaan yang ingin menguasai wilayah kerajaan yang dipegangnya. Tapi ada yang mengatakan Gaduh Kebo Iwa adalah seorang raksasa, bertubuh kuat, gagah perkasaa dan sangat sakti. Konon di Bali banyak sekali peninggalan sejarah yang merupakan hasil karya atau setidak-tidaknya ada hubungannya dengan kehidupan Patih Gaduh Kebo Iwa.

Menurut legenda atau dongeng Gaduh Kebo Iwa bertempat tinggal di Desa Blahbatuh tepatnya di sebelah Barat Daya Gianyar sekarang. Disebut-sebut sebagai peninggalan Kebo Iwa adalah Candi Padas Gunung Kawi, Kolam Tirta Empul yang ada di Tampak Siring dimana Kebo Iwa diceritakan mandi dengan menggosok punggungnya dengan batu yang datang sendiri dari Bukit Buluh yang ada di Klungkung. Sebuah jalan yang naik terjal yang ada di Trunyan juga disinggung ada missi perjalanan dari Kebo Iwa dan oleh penduduk dikatakan dengan undag (prigi) Kebo Iwa.

Singkat cerita setiap ada tempat atau tanah, batu berlobang sering dihubungkan dengan tapak kaki Kebo Iwa. Lebih hebat lagi Kebo Iwa hanya bermodalkan dengan kayu Kelor bisa menggotong atau memikul tanah. Jatuhan tanah yang dipikulnya dengan kayu kelor tersebut membuat sebuah pulau-pulau kecil seperti yang dikaitkan dengan adanya Pulau Nusa Dua sekarang.

Yang patut menjadi catatan tersendiri adalah Bali mencapai kejayaan itu justru ketika mahapatih Kebo Iwa masih berkuasa. Pasalnya semenjak Bali dikuasai Kebo Iwa, majapahit tidak bisa menjajah Bali. Untuk membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada membuat taktik jitu dengan menugaskan Kebo Iwa membuat sumur, setelah itu ditimbun dengan batu dicampur kapur. Maka Kebo Iwa pun wafat. *patra dari berbagai sumber.

PERMATA MERAH JATUH DENGAN GAIB
BERBAGAI keunikan yang ada pada sebuah pura ternyata apa yang kita mohonkan bisa jadi kita dapatkan. Begitu juga yang ada di Pura Kebo Iwa. Krama yang tahu pura ini akan mengadakan perjalanan sucinya untuk mendekatkan diri dengan Ida Sanghyang Widhi. Kalau kita percaya di Pura Gaduh/Kebo Iwa Ida sasuhunan sangat pemurah. Dan banyak para pemedek yang membuktikan mendapatkan sesuatu. Jangankan pada hari-hari piodalan, ternyata pada hari-hari biasa tidak jarang kita saksikan krama yang pedek tangkil. Krama yang tangkil datang dari berbagai daerah, sehingga pura ini bukanlah milik dari krama Blahbatuh. Seperti dikatakan oleh Jro Mangku Ketut Pada ketika dihubungi MBA mengatakan "Pura ini memang sering dikunjungi krama Bali dan tiang tidak tahu dari mana asal pedek tangkil kesini", ujarnya polos. Dengan keyakinan umat untuk mendalami agamanya yang semakin meningkat memang diakui sekarang berbagai pura sempat menjadi sasaran umat. Sehingga termasuk Pura Kebo Iwa ada saja yang datang untuk meminta restu sesuai profesinya. Ada cerita sangat menarik yang mengaku rombongan dari Denpasar. Di saat khusuknya menghaturkan sembah subhakti kehadapan Ida Sasuhunan ternyata salah satu rombongan tiba-tiba dikagetkan sebuah paica berupa batu permata merah.

Menurut rombongan tersebut tujuannya nangkil ke Pura Kebo Iwa tidak pernah terbesit akan mendapatkan suatu yang berupa paica. Batu merah itu tiba-tiba muncul di atas canang sarinya yang hendak dihaturkannya keluhur, kontan saja pemedek yang lainnya ikut kaget. Dibarengi setengah becanda bahwa ada seorang yang kehilangan permata merah hati. Dengan didapatkannya batu permata itu, maka persembahyangan menjadi lebih khusuk lagi karena diyakini Ida Sasuhunan adalah maha pemurah. Bagi krama setempat yang tidak tahu menahu tentang paica yang sering didapatkan pamedek. Karena itu anugerah, maka tidak ada salahnya seorang nangkil kesana nunas damuh", urai Jro Mangku Ketut Pada. Sangat menarik sekali apa yang kita saksikan di Utama Mandala, karena kalaupun hiruk-pikuknya deru kendaraan bermotor menuju jalur timur, namun Pura Kebo Iwa sangat hening dan suasananya sangat mendukung untuk persembahyangan. Suasana sepi dirasakan pamedek karena tembok penyengker dari pura itu sangat megah dan tinggi. Arsitektur Pura ini mengagumkan dan bisa dikatakan betapa tingginya nilai karya yang membuat pura itu dan kini masih sangat tegar berdiri kokoh melambangkan budaya Bali yang sangat agung. *patra

TERPIKAT BAJANG JEGEG
MENURUT sejarah yang disebut diberbagai lontar dikatakan, Gaduh Kebo Iwa adalah sosok patih yang maha sakti. Gaduh Kebo Iwa pepatih dari Raja Gajahwaktra yang memerintah di Bedahulu (sekarang Bedahulu) sekitar tahun 1324M-1343M. Sebelumnya di Bedahulu memerintah seorang raja yag bernama Mesula-mesuli, setelah meninggal kerajaan jatuh pada Gajahwaktra alias Sri Tapolung yang beristana di Bedahulu.

Diceritakan Sri Tapolung ini adalah seorang raja yang sangat sakti, tapi dibarengi dengan sifat-sifatnya yag sangat sombong. Kesombongannya itu sampai berani melawan perintah para dewa-dewa, sifat-sifatnya sesuai dengan sifat Mayadenawa, yang kemudian dapat dikalahkan oleh Bhatara Indra (Mahadewa). Dalam pemerintahan itu Gajahwaktra dibantu bebrapa pepatih yaitu: di Tengkulak dibantu oleh Ki Pasunggrigis sebagai perdana menteri (sebelah barat Bedahulu). Ki Gaduh Kebo Iwa mendapat tugas di Blahbatuh, pembantu lainnya adalah Demung I Udug Basur, Tumenggung Ki Kalagemet, menteri Girikmana (Ularan) bercokol di Bali utara, Ki Tunjung Tutus di Tianyar, Tunjung Biru di Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya dan Ki Kalungsingkal di Taro. Dengan penjelasan beberapa sumber tadi maka dapat dikatakan Gaduh Kebo Iwa adalah seorang patih yang bertempat tinggal di Blahbatuh dan merupakan patih yang sangat disegani Raja Gajahwaktra.

Kisah perjalanan Ki Gaduh Kebo Iwa memang agak aneh, pasalnya Gaduh Kebo Iwa adalah pengagum bajang jegeg. Sehingga dengan kedatangan Majapahit ke Bali, dengan tipu daya untuk membawa Gaduh Kebo Iwa ke Jawa yang akan dijodohkan dengan seorang gadis cantik yang sudah terkenal dengan nama Putri Jejawi.

Upaya ini adalah bikinan Patih Majapahit supaya dapat mengalahkan Bali dengan cara halus. Tapi setelah gadis cantik tersebut mau dikawinkan, harus dipenuhi permintaan membuat sumur yang dalam. Dengan tidak berfikir panjang lebar Gaduh Kebo Iwa tidak menolak, dengan kekuatan atau kesaktiannya membuat sumur dan akhirnya setelah kedalamannya cukup. Putri cantik yang bernama Jejawi menyuruh anak buahnya menimbun Gaduh Kebo Iwa. Akhirnya Gaduh Kebo Iwa ditimbun dengan berbagai bebatuan, seperti batu putih dan tanah. Tapi setelah ditimbun dengan bebatuan, ternyata Gaduh Kebo Iwa tidak mati. Keluarlah sabda Gaduh Kebo Iwa dari dalam sumur, bahwa dirinya tidak akan mati sebelum ditimbun dengan ranting dan garam. Setelah ditimbun dengan ranting dan garam barulah Gaduh Kebo Iwa mati. Hanya dengan janji akan dikawinkan dengan gadis cantik Gaduh Kebo Iwa rela meninggalkan Bali yang merupakan andalannya untuk mempertahankan daerah yang dikuasai Gajahwaktra. Tapi karena Gaduh Kebo Iwa kesukaannya adalah gadis cantik dengan mudah Gajahmada menaklukan Bali.

Sebelum Gaduh Kebo Iwa pergi ke Majapahit dengan tipu daya akan dikawinkan dengan gadis cantik, maka sempat meninggalkan sebuah karya berupa pura yang disebut dengan Pura Gaduh Kebo Iwa. Di pura ini ada sebuah arca kepala yang cukup besar, konon patung kepala Gaduh Kebo Iwa sendiri. Dengan ditemukannya patung kepala tersebut sampai sekarang pura itu sebagai peninggalan perjalanan Gaduh Kebo Iwa. *patra dari berbagai sumber.

Jro Mangku Ketut Pada:
PERCAYA DENGAN IDA SASUHUNAN
KETUT Pada, pemangku Pura Kebo Iwa yang ditugaskan untuk melayani umat yang tangkil ke Pura Kebo Iwa. "Sebagai pemangku memang tiang sangat bodoh dalam bidang tattwa agama," urainya dengan lugu. Tapi Ida Sasuhunan yang melingga disini tahu dirinya bodoh, kebodohannya tidak menjadi halangan ngayah sebagai seorang pemangku. Karena disadari apa yang dilakukan I Ketut Pada ini sebatas mewarisi tugas ini, dan semua itu tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Akibatnya sebagai orang belog, harus mau mengikut garis keturunan ini. Dalam usia yang sudah usur yaitu 70 tahun I Ketut Pada masih bisa memberikan pelayanan kepada umat Hindu yang pedek tangkil walaupun dengan kondisi badan yang agak srayang sruyung. Tujuannya ngayah kata Jro Mangku adalah, "Wantah nunas keselamatan secara sekala-niskala, tidak lebih dari itu,: paparya ketika diajak berdialog MBA. bagi Ketut Pada pada hari Wraspati Umanis, Pahang adalah hari-hari sibuknya melayani umat, pasalnya pada hari itu adalah piodalan Ida Bhatara Pura Gaduh yang mesti dilakukan setiap 210 hari sekali. Disaat itulah selama nyejer empat hari penuh dengan kesibukan bhakti. Tanpa mengenal lelah siap mengantarkan umat melakukan bhaktinya kepada Ida Sasuhunan. Usia tua bagi Ketut Pada yang berpenampilan lugu tidak menjadi halangan dan sudah percaya kepada Ida Sasuhunan yang menuntunnya untuk ngayah disini.

Sebagai manusia matah seharusnya sudah lengser mengingat sudah tidak layak ngayah lagi karena umur sudah memberikan garis yang sudah tua. Tapi karena kehendak niskala, niat itu diurungkan takut nanti ada kualat, tukasnya dengan kalem. Setiap orang yang hidup didunia ini umumnya mempunyai prinsip, demikian juga Jro mangku Ketut Pada mempunyai prinsip hidup yang sangat mulia.

"Didunia ini jangan sekali-kali mempunyai niat nguluk-nguluk, sebab nguluk adalah perbuatan yang tidak baik walaupun itu kelihatannya sangat sepele, tapi hikmah dosa dari nguluk-nguluk itu sangat besar." saran Jro Mangku Ketut Pada.

"Didunia ini tidak ada yang tidak mustahil, dengan hidup ini usahakan berbuat sesuai norma agama dan norma etika." katanya menambahkan. Tapi sayangnya hidup seseorang kini banyak yang mempunyai niat nguluk-nguluk, apalagi nguluk orang belog, sebenarnya itu harus dihindari, demi materi banyak yang nguluk-nguluk dengan cara halus demi mencapai tujuannya. Biasanya orang miskin dan orang belog sering menjadi korban uluk-uluk dari orang pintar, katanya mengingatkan. *patra

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS